Kamis, 11 Desember 2008

Anakku

Anakku...jantung ini bagaikan genderang yang terus bertalu. Jantung ku tidak kuat melihatmu menangis menjerit jerit saat jarum infus menusuk kulit halus mu.
Aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa ikut menangis di depanmu. Engkau akan semakin menjerit jika melihat air mataku keluar.
Ingin sekali rasanya kumaki perawat dan dokter yang menyakitimu. Tapi, bodoh sekali rasanya jika itu kulakukan. Aku tahu, penyiksaan ini untuk kebaikanmu, dan rasio ku tidak mau kompromi pada saat ini. Baru sekarang aku dapat memahami tersiksanya hati mereka saat yang dicintai disakiti.
Anakku...aku melihat matamu melihat ke arahku di sela sela banjir nya air mata di kelopak matamu. Aku tahu, engkau menganggapku jahat saat ini. Engkau menganggap ku jahat karena membiarkanmu ditusuk oleh jarum infus itu. Saat kau memandangku seperti itu, ingin rasanya aku menghela orang orang berbaju putih itu dari tanganmu. Ingin rasanya aku menggendong dan membelaimu. Ingin sekali aku membelai pipi halus mu yang sudah mulai agak berkeriput karena panas badan yang terlalu lama. Ingin sekali aku mengatakan aku mencintaimu dan tidak ingin melihatmu terluka.
Anakku...setelah tangisanmu berhenti karena kelelahan menangis, aku tersadar bahwa, semua yang menyakitimu belum tentu untuk membuatmu terluka. Jarum infus yang menyakitkan itu, justru akan membuat lebih baik. Terimakasih anakku, kau memberikanku pelajaran bermakna saat ini, meskipun harus kau bayar dengan air matamu.

Tidak ada komentar: